Prinsip Syariat yang Menunjukkan Adanya Udzur dengan Kebodohan (Bag. 1)
Oleh Ustadz Muhib al-Majdi
Pendapat para ulama yang menyatakan bahwa udzur dengan kebodohan
berlaku secara menyeluruh, baik dalam perkara ushul dien (seperti tauhid, shalat
lima waktu, shaum Ramadhan, zakat, haji, haramnya syirik, haramnya zina,
haramnya membunuh, dst) maupun dalam perkara furu’ dien, adalah pendapat
yang sesuai dengan prinsip-prinsip pokok syariat dalam menetapkan taklif syar’i.
Berlakunya udzur dengan kebodohan dalam perkara ushul dien maupun furu’
dien, setidaknya tegak di atas dua prinsip pokok dalam syariat Islam.
Prinsip Pertama:
Tidak ada taklif atas hamba Allah kecuali dengan adanya syariat yang diturunkan
Allah
Al-Qur’an, As-Sunnah, akal sehat, dan pendapat mayoritas ulama menegaskan
bahwasanya:
• Tidak ada cara untuk memberikan taklif kepada manusia dan jin dengan
segala hal yang berkaitan dengan ajaran agama (ushul dien maupun furu’
dien), kecuali melalui jalan wahyu Allah.
• Hukum-hukum syariat dengan segala konskuensinya di dunia maupun
akhirat tidaklah berlaku atas manusia dan jin kecuali setelah diturunkannya
wahyu dan diutusnya para rasul.
Tidak ada jalan untuk mengetahui dan menetapkan hukum-hukum taklif di
dunia (wajib, sunnah, haram, makruh) dan di akhirat (pahala dan dosa) kecuali
dengan jalan wahyu Allah.
Inilah pendapat yang benar dan dipegangi oleh mayoritas ulama Islam.
Prinsip pokok ini berkaitan erat dengan masalah baik dan buruk menurut
akal (al-hasan al-‘aqli dan al-qabih al-‘aqli). Para ulama terlibat dalam perbedaan
pendapat yang sengit dalam masalah baik dan buruk menurut akal.
Salah satu cabang pembahasannya yang mereka perdebatkan adalah apakah
baik dan buruk yang bermakna berlakunya hukum wajib, sunnah, haram, makruh,
pahala, dosa, pujian, dan celaan serta dampak-dampak hukumnya di dunia dan
akhirat, itu ditetapkan berdasarkan syariat atau akal?
Imam Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki menjelaskan bahwa hakekat perbedaan
pendapat para ulama dalam masalah baik dan buruk menurut akal itu berkisar
pada balasan syariat terhadapnya baik berupa pujian, celaan, maupun selainnya;
baik di dunia maupun di akhirat. Ia tidak hanya berkisar pada masalah dampaknya
yang berupa pahala dan dosa di akhirat semata.
Al-Qarafi berkata, “Hanyasanya perbedaan pendapat para ulama adalah
dalam hal sebuah tindakan berkaitan erat dengan balasan syariat, baik berupa
celaan maupun selainnya, di dunia maupun akhirat.”1
Imam Najmuddin Ath-Thufi Al-Hambali juga menegaskan pernyataan Al-Qarafi ini, dengan mengatakan, “Pernyataan beliau ini bagus, tiada kesamaran
lagi atasnya.”2
Secara umum, perbedaan pendapat para ulama dalam masalah baik dan
buruk secara akal tersebut kembali kepada tiga pendapat pokok:
Pendapat pertama, akal sehat tidak menunjukkan kepada baik dan buruknya
sebuah perbuatan. Satu-satunya jalan untuk mengetahui baik dan buruk, pujian
dan celaan, pahala dan siksa atas sebuah perbuatan adalah dengan wahyu.
Sebelum turunnya syariat Allah, sebuah perbuatan tidak bisa disebut perbuatan
baik atau perbuatan buruk, terpuji atau tercela. Ini adalah pendapat mayoritas
Asy’ariyah.
Pendapat kedua, akal-lah yang menunjukkan baik dan buruknya sebuah
perbuatan, terpuji atau tercelanya sebuah perbuatan. Akal pula yang menetapkan
hukum sebuah perbuatan itu wajib atau haram. Syariat hanya menyingkap
hukum yang telah ditetapkan oleh akal semata. Ini adalah pendapat Maturidiyah
dan banyak ulama Mu’tazilah.
Pendapat ketiga, akal mampu menunjukkan sebuah perbuatan itu baik atau
buruk. Sebelum syariat turun, sebuah perbuatan bisa dinilai sebagai perbuatan
baik atau buruk, dan perbuatan tersebut bisa dipuji atau dicela. Namun penilaian
akal tersebut tidak menjadikannya sebagai perbuatan wajib atau haram, pahala atau dosa. Penilaian akal tersebut tidak berkonskuensi hukum syariat apapun.
Wajib atau haram, sunah atau makruh, pahala atau dosa, dan konskuensi-konskuensi syariat lainnya atas sebuah perbuatan di dunia maupun akhirat
hanya ditetapkan setelah syariat diturunkan. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama dari generasi sahabat, tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
setelah mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ini adalah pendapat yang dianut oleh
seluruh generasi salaf dan mayoritas kaum muslimin, dan pendapat inilah yang
ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.”3
Pendapat ini dipilih oleh para ulama muhaqqiqin seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Az-Zarkasyi, Asy-Syaukani, Asy-Syinqithi, dan lain-lain.
Kesimpulannya, pendapat yang dianut oleh mayoritas Ahlus Sunnah wal
jama’ah dari generasi salaf dan khalaf, dan juga dianut oleh Asy’ariyah adalah
bahwasanya taklif terhadap hamba Allah itu hanya terjadi dengan adanya syariat
Allah. Maka:
• Seorang manusia tidak menjadi mukallaf (terkena kewajiban dan larangan
syariat Islam) kecuali berdasarkan wahyu Allah.
• Ucapan dan perbuatan seorang manusia tidak dihukumi wajib atau haram,
sunah atau makruh, kecuali berdasarkan wahyu Allah.
• Ucapan dan perbuatan seorang manusia tidak berakibat pahala atau dosa,
juga tidak menimbulkan dampak hukum dan sanksi hukum apapun di
dunia maupun di akhirat kecuali berdasarkan wahyu Allah.
Cara-cara lainnya seperti akal sehat, fitrah, maupun qiyas tidaklah bisa
menetapkan halal dan haram, wajib atau haram, sunah atau makruh, pahala atau
dosa, maupun dampak-dampak lainnya di dunia maupun akhirat.
Menjelaskan hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tiada hal yang
wajib dan tiada pula pahala di akhirat, kecuali dengan syariat. Maka perbuatan
ini maupun perbuatan itu tidaklah diberi pahala sebelum datangnya syariat.
Demikian pula, perbuatan ini maupun perbuatan itu tidak menjadi wajib kecuali
berdasar syariat.”4
Maka hukum-hukum syar’i yang lima (wajib, sunah, haram, makruh, dan
mubah) itu berdasarkan ketetapan Allah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Tiada sumber dan pihak selainnya yang bisa menetapkannya, baik itu berupa
akal sehat, fitrah, dzauq (perasaan hati), mimpi, wangsit, wali, malaikat, maupun
selainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dengan mengatakan, “Maka
agama orangg-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya meyakini bahwa
hukum-hukum yang lima yaitu wajib, sunah, halal, makruh, dan haram, tidaklah
diambil kecuali dari jalan Rasulullah SAW. Maka tiada perkara yang wajib kecuali
apa yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tiada perkara yang haram
kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”5
Menjatuhkan vonis kafir (takfir) adalah hukum syar’i, sehingga sumber
pengambilan argumentasinya tidak berbeda dengan hukum-hukum syar’i lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan hakekat ini dengan mengatakan,
وال ينبيغ أن يظن أن اتلكفري ونفيه ينبيغ أن يدرك قطعا يف لك مقام بل اتلكفري حكم رشيع يرجع إىل إباحة املال وسفك ادلماء واحلكم باخللود يف انلار فمأخذه كمأخذ سائر األحاكم الرشعية فتارة يدرك بيقني وتارة يدرك بظن اغلب وتارة يرتدد فيه ومهما حصل تردد فاتلوقف عن اتلكفري أوىل واملبادرة إىل اتلكفري إنما تغلب ىلع طباع من يغلب عليهم اجلهل
“Takfir adalah hukum syar’i yang kembali kepada penghalalan harta,
penumpahan darah, dan vonis kekalnya seseorang di dalam neraka.Maka sumber
pengambilannya adalah seperti sumber pengambilan seluruh hukum syari’i
lainnya. Maka kadang-kadang ia bisa diketahui dengan yakin, kadang-kadang
diketahui dengan dugaan kuat, dan kadang-kadang diketahui dengan keragu-raguan. Kapan saja terjadi keragu-raguan dalam menjatuhkan vonis kafir, maka
menahan diri (at-tawaqquf) dari melakukan takfir adalah tindakan yang lebih
layak dilakukan. Adapun bersegera menjatuhkan vonis kafir sesungguhnya biasa
mendominasi perilaku orang-orang yang dikuasai oleh kebodohan.”6
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menerangkan prinsip pokok ini dengan mengatakan:
فإن الوجوب واتلحريم بدون الرشع ممتنع إذ لو ثبت بدونه لقامت احلجة بدون الرسل واهلل سبحانه إنما أثبت احلجة بالرسل خاصة
“Sesungguhnya wajib dan haram tanpa adanya syariat adalah perkara yang
tidak mungkin terjadi. Sebab, seandainya hal (wajib dan haram) itu berlaku tanpa adanya syariat, niscaya hujah Allah telah tegak tanpa adanya para rasul. Padahal
Allah hanya menegakkan hujah dengan cara mengutus para rasul semata.”7
Oleh karenanya, para ulama Ahlus Sunnah menyatakan orang yang mati pada
masa fatrah itu tidak memiliki dosa. Untuk itu, Allah tidak akan menyiksanya di
neraka sehingga Allah mengujinya terlebih dahulu di akhirat.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah saat membahas tentang tingkatan para mukallaf
di akhirat kelak, beliau menulis, “Tingkatan keempat belas: kaum yang tidak
memiliki ketaatan maupun kemaksiatan, tiada memiliki kekufuran maupun
keimanan. Mereka ini ada beberapa golongan, di antaranya adalah orang yang
belum sampai kepadanya dakwah sama sekali dan ia tidak mendengar berita
(dakwah) sama sekali.”8
Beliau juga menegaskan bahwa orang tersebut bukanlah seorang mukallaf,
“Adapun orang yang belum sampai kepadanya dakwah, maka dalam kondisi
tersebut ia bukanlah seorang mukallaf. Kedudukannya adalah seperti kedudukan
anak-anak kecil dan orang-orang gila.”9
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan ketidak mampuan orang
yang sakit dan sejenisnya dengan mengatakan, “Mereka itu bukanlah orang-orang yang terkena taklif dan mereka tidak akan dihukum akibat ketaatan yang
mereka tinggalkan. Demikian pula halnya orang yang tidak mampu mendengar
dan memahami, seperti anak-anak dan orang yang gila serta orang yang belum
sampai kepadanya dakwah.”10
Prinsip Kedua:
Syariat yang diturunkan Allah tidak mengenai orang yang tidak mengetahui
syariat tersebut.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah menegaskan bahwa kebodohan adalah
udzur dalam perkara ushul dien maupun furu’ dien, dan bahwasanya hukum-hukum syariat tidak berlaku atas orang yang belum mengetahui hukum-hukum
syariat tersebut.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah juga menegaskan bahwa seorang yang
secara sah telah masuk Islam tidaklah terkena perintah syariat atau larangan
syariat, baik dalam perkara-perkara tauhid maupun selainnya, selama ia tidak
mengetahui perintah atau larangan syariat tersebut.
Maka seorang hamba tidak dituntut untuk menjalankan suatu hukum syariat
kecuali jika ia telah mengetahui hukum syariat tersebut. Jika ia bukan mukallaf
atas suatu hukum syariat yang belum ia ketahui, maka ia juga tidak terkena
konskuensi-konskuensi hokum syariat tersebut baik di dunia maupun akhirat.
Orang yang melanggar suatu taklif syariat (misalnya sebagian perkara syirik
atau dosa besar) karena ia tidak mengetahui bahwa perkara tersebut dilarang
oleh syariat tidaklah disebut orang yang bermaksiat terhadap syariat.
Demikian pula, orang yang mengerjakan suatu perbuatan yang sesuai dengan
sebagian perintah syariat, namun ia tidak mengetahui bahwa perbuatan yang ia
lakukan tersebut sebenarnya diperintahkan oleh syariat, tidaklah disebut orang
yang mengerjakan perintah syariat. Akibatnya, ia juga tidak mendapatkan pahala
atas perbuatannya tersebut.
Contoh:
Seseorang mendapati orang-orang di sekitarnya melakukan shaum wajib
atau shaum sunnah. Lalu ia ikut-ikutan melakukan shaum, tanpa ia mengetahui
bahwa shaum itu diwajibkan oleh syariat. Shaum yang ia lakukan tersebut tidak
akan mendapat pahala, sebab ia tidak memiliki niat untuk mendekatkan diri
kepada Allah dengan shaum tersebut. Sedangkan niat mendekatkan diri kepada
Allah tersebut hanya akan muncul setelah ia mengetahui bahwa shaum adalah
kewajiban yang diperintahkan oleh syariat.
Prinsip pokok ini mencakup pokok taklif syariat, baik berupa perintah
syariat maupun larangan syariat. Ia juga mencakup hukum-hukum syariat yang
ditimbulkan oleh perintah syariat atau larangan syariat tersebut.
Maka seorang hamba tidak dituntut untuk mengerjakan suatu perintah syariat
atau meninggalkan suatu larangan syariat, kecuali jika ia telah mengetahui
perintah syariat dan larangan syariat tersebut. Jika ia mengerjakan suatu perintah
syariat atau ia meninggalkan suatu larangan syariat, tanpa ia mengetahui
bahwa perbuatan yang ia kerjakan atau perbuatan yang ia langgar tersebut
termasuk bagian dari syariat; niscaya konskuensi-konskuensi hukum syariat yang
berkenaan dengan perbuatan tersebut tidak berlaku atas dirinya.
Contoh:
a. Seseorang tidak makan dan tidak minum sejak dari terbit fajar sampai
matahari tenggelam. Namun ia tidak mengetahui bahwa perbuatan
tersebut adalah ibadah shaum yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Maka ia tidak disebut orang yang shaum menurut syariat. Ia juga
tidak akan mendapatkan pahala yang dijanjikan bagi orang yang shaum, di
dunia maupun akhirat.
b. Seseorang meminum khamr, namun ia tidak mengetahui bahwa khamr
itu diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka ia tidak disebut peminum
khamr, orang fasik, dan pelaku dosa besar. Ia juga tidak dikenai hukuman
had di dunia ataupun ancaman tidak akan meminum khamr di surge di
akhirat kelak.
Catatan kaki:
1 . Nafaisul Ushul, I/351, karya Al-Qarafi.
2 . Dar’ul Qaulil Qabih, hlm. 82, karya Ath-Thufi.
3 . Majmu’ Fatawa, XI/677.
4 . Dar’u Ta’arudhil Aql wan Naql, VIII/14.
5 . Majmu’ Fatawa, XXII/226.
6 . Bughyatul Murtad, hlm. 224.
7 . Miftahu Daris Sa’adah, II/51.
8 . Thariqul Hijratain, hlm. 570.
9 . Thariqul Hijratain, hlm. 608.
10 . Majmu’ Fatawa. VIII/202.
Sumber: kumpulan diskusi seputar udzur jahil dan takfir
Penulis: Muhib Al Majdi