Bantahan atas Syubhat Sesat Mahfud MD, dkk.
Oleh Kyai Haji Abu Bakar Ba'asyir
Mahfud MD mengatakan: "Bahwa perjuangan menegakkan hukum Islam mempunyai
sejarah yang panjang. Tetapi, ada tiga fenomena yang
menyebabkan orang akan berbalik dari memperjuangkan
Negara Islam menjadi penentang Negara Islam. Pertama:
belajar ke luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Syafi’i
Ma’arif dan Amien Rais. Mereka dahulunya adalah pejuang
Negara Islam setelah ia belajar tentang al Qur’an secara
komprehensif, maka ia pun mengatakan bahwa Negara
Islam tidak pernah ada. Demikian juga dengan Nurcholish
Madjid, yang ketika muda ia adalah seorang pengagum
ayahnya yang memiliki kesetiaan kepada Masyumi dengan
tujuan pokoknya adalah berdirinya Negara Islam. Akan tetapi
setelah ia pergi belajar ke Amerika dan sekembalinya dari
sana ia mengatakan tidak ada Negara Islam. Demikian juga
dengan Gus Dur yang dahulunya adalah ketua Ikhwanul
Muslimin cabang Jombang yang sangat kagum dengan
perjuangan Negara Islam yang diusung oleh Ikhwanul
Muslimin. Setelah ia belajar di Mesir dan bekerja di Jerman
selama dua tahun dan sekembalinya ia pun mengatakan
tidak ada Negara Islam. Jadi, orang berubah karena
bertambahnya ilmu, semakin bertambah ilmu maka ia
semakin menerima.
Kedua , orang bisa berubah karena pertarungan demokrasi.
Jika telah kalah dalam demokrasi maka ia telah kalah
seutuhnya, seperti yang dialami oleh PKS yang sekarang
telah berubah dari tujuan awal, demikian juga dengan PPP
yang dahulunya sanggup menyatakan bahwa apapun yang
terjadi, yang penting Negara Islam. Namun sekarang telah
berubah juga. Demikian pula dengan Abdul Qodir Jaelani.
Demokrasi pula yang telah menjadikan perolehan suara
partai Islam menjadi minim. Harus diingat, ada berapa
persenkah pendukung Islam. Dalam pemilu tahun 1999
hanya 19 % selebihnya mereka memiliki pilihan sendiri.
Ketiga, orang bisa berubah apabila menerima jabatan.
Sehingga ada orang yang dua minggu sebelumnya
menyatakan di koran masih menjadi pendukung Syari’at
Islam, tetapi setelah ditawari jabatan ia pun mengatakan
bahwa Pancasila telah final tidak ada tempat untuk Negara
Islam.
Kepada Saudara Aris, mengedepankan substansi karena
sesungguhnya kita tidak bisa lepas dari substansi. Bahkan
Indonesia sebagai negara, kita tidak mengikuti Amerika,
Eropa dan yang lainnya. Yang kita lakukan adalah
mempertemukan substansi-substansi hukum yang telah ada
termasuk Islam. Persoalannya, kalau Islam berhasil di
Indonesia menjadi negara lantas Islam menurut pemahaman
siapakah yang akan dipergunakan. Sesungguhnya yang
terjadi selama ini adalah karena kita mencampur aduk
antara pengertian Syari’ah dengan fiqh, sehingga kita
cenderung bingung jika Islam berhasil lantas Islam manakah
yang akan dipakai. Kalau jawabannya adalah terserah, maka
itu berarti bahwa hukum Islam tidak bisa diperjuangkan
karena yang dapat diperjuangkan hanya hal-hal yang bersifat
pasti dan jumlahnya hanya satu.
Dahulu Imam Ibnu Hambal dihukum oleh pemerintah Islam
karena adanya perbedaan pendapat. Kemungkinan ini juga
bisa terjadi pada diri bangsa Indonesia. Sejarah juga telah
membuktikan bahwa orang Islam sering membunuh sesama
Muslim karena adanya perbedaan. Jika kemudian saudara
menyerahkan persoalan Islam ini pada politik maka kita
harus sadar yang mendukung Islam dalam perjalanan
sejarah Indonesia, pendukung partai Islam tidak pernah lebih
dari 30%. PPP memang pernah mencapai 29%, tetapi bukan
murni atas perjuangan mereka akan tetapi karena mereka
ikut dalam asas tunggal. Setelah PPP berdiri sendiri sebagai
partai Islam maka perolehannya tidak lebih dari 9%.
Demikian juga dengan partai Islam lainnya, nilai jualnya dari
dahulu hingga sekarang tidak pernah naik.
Adapun tentang pendapat, sesungguhnya setiap orang
mempunyai pendapat yang sama-sama benar menurut
persepsi masing-masing. Sebagai contoh, dalam pengadilan
ketika kita mendengar tuntutan jaksa mungkin kita akan
mengatakan bahwa jaksa itu benar dan tuntutannya telah
sesuai. Akan tetapi, di lain hari ketika kita mendengar
pembela menyampaikan pembelaannya mungkin juga kita
akan mengakui kebenaran sang pembela. Demikian juga
ketika kita mendengar keputusan hakim mungkin juga kita
akan mengatakan bahwa hakim lah yang benar. Itulah yang
dinamakan dengan persepsi dimana orang bisa berbeda-
beda. Demikian juga ketika kita berbicara tentang agama,
orang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda-beda, yang
penting kita saling menghormati."
Jawaban:
Dalam Islam sesungguhnya perbedaan pendapat diakui
adanya, karena hal itu memang manusiawi. Akan tetapi, ada
aturan yang dipakai, mana yang boleh khilaf dan mana yang
tidak boleh. Kalau semuanya boleh khilaf, maka yang terjadi
adalah kekacauan. Yang tidak boleh khilaf adalah persoalan-
persoalan ushul (prinsip), misalnya tentang shalat. Shalat
pada prinsipnya adalah lima waktu dan hukumnya adalah
wajib karena dalilnya qat’i (jelas). Adapun ketika
menemukan perbedaan, maka antisipasinya adalah seperti
yang diterangkan al Qur’an, yakni mencari solusinya dengan
mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu Qur’an
dan Sunnah.
Dalam memahami sunnah pun tidak boleh sembarangan
karena ada ilmu khusus yang dipakai. Dengan demikian kita
bisa membantah siapa saja yang sekiranya menyimpang dari
ajaran Rasul, jika dia keberatan harus berani diajak untuk
berdebat. Dari sini kita harus jujur bahwa segala sesuatu
dalam Islam mempunyai kaidah-kaidah yang harus dipakai,
sehingga tidak ngawur asal beda saja. Shalat hukumnya
wajib, jika ada yang mengatakan tidak wajib maka harus
dimintai dalil, jika tidak mampu menunjukkan dalil maka ia
harus diingatkan, dan jika tetap membangkang maka ia
harus diberi sanksi. Tindakan seperti itu bukan berarti tidak
menghormati pendapat orang lain, tetapi tindakan kepada
orang yang pendapatnya ngawur. Jadi, segala sesuatu tidak
bisa diterjang begitu saja.
Adapun yang boleh dijadikan sebagai wilayah ikhtilaf adalah
dalam hal furu’ (cabang). Misalnya, dalam shalat ada yang
mengangkat tangan ketika takbiratul ihram sebatas telinga
atau hanya sampai depan dada maka perbedaan seperti itu
sah-sah saja. Adapun perbedaan-perbedaan selanjutnya bisa
diselesaikan oleh Imam/Amirul Mukminin, karena itulah
manajemen dalam Islam. Apabila jika hal itu adalah
permasalahan furu’ maka silakan mengikuti apa yang
ditetapkan oleh Imam meskipun bertentangan dengan
pendapat kita.
Murtad: Terhadap keberatan Ibu dosen UIN tadi[1], saya
mengatakan bahwa di UIN terdapat dosen yang murtad, itu
bukanlah pendapat ngawur, karena telah ada yang
membuktikannya lewat tulisan yakni Hartono Ahmad Jaiz.
Ada dosen yang membatalkan perkara ushul dan
berargumen hanya menggunakan otak semata. Itu tidak
boleh terjadi, karena orang Islam mempunyai dalil yang
jelas, selama dalilnya jelas maka tidak perlu ditafsirkan
macam-macam. Misalnya, tentang hukum potong tangan,
kita tidak bisa menafsirkan ayat yang menjelaskan hal
tersebut dengan penafsiran lain. Adapun khilafnya adalah,
pemotongan tangan dilakukan pada pergelangan atau pada
siku atau pangkal lengan.
Tidak jera: Jika benar seperti yang anda katakan, di Arab
Saudi hukuman potong tangan ternyata tidak menjerakan.
Memang, ada manusia yang bandel, tidak mau kapok,
sekalipun dihukum pakai apapun juga tetap saja ingin
mencuri atau bermaksiat lagi. Maka hukumannya bertahap,
dari potong tangan kemudian kaki, lalu bersilang, tidak
kapok juga maka hukumannya disalib. Tetapi tidak bisa
dipungkiri, hukuman potong tangan sangat efektif
meminimalkan pencurian atau pelanggaran lainnya. Perlu
dilakukan penelitian, berapa persen dari hukuman rajam
memiliki efek jera atau sebaliknya, bila dibanding dalam
kasus yang sama di negeri yang tidak memberlakukan
hukum Islam.
Perubahan Sikap : Semakin bertambah ilmu seorang Muslim,
mestinya semakin cerdas untuk membela penerapan Syari’at
islam di lembaga negara, apalagi bila dia seorang
cendekiawan Muslim. Orang demokrasi saja terus menerus
mengasah otak agar sistem demokrasi kafir itu diterima
dunia. Malah cendekiawan Muslim belajar ke mana-mana,
pulangnya nolak syari’at, aneh. Itulah akibatnya, bila
memahami Islam hanya dengan pikiran, maka hasilnya akan
berubah-ubah dan tidak konsisten. Lebih-lebih bila kaitannya
dengan jabatan, popularitas, dan harta dunia. Karena itu,
Nabi sendiri telah mengingatkan bahwa ada dua hal yang
menerkam iman lebih dari serigala lapar menerkam
kambing, yaitu dunia dan kedudukan. Itu pula yang
dimaksud oleh Rasul bahwa di akhir zaman nanti, umatku
akan terkena oleh penyakit wahn yaitu cinta dunia dan takut
mati. Orang yang terkena penyakit ini kemudian menciptakan
syari’at sendiri karena surganya adalah dunia. Disinilah kita
harus jujur mengakui kebenaran Islam dan jangan sampai
hukum Islam diamandemen seperti yang dilakukan oleh
bangsa Indonesia, jika itu yang terjadi, maka pertanyaannya
apakah manusia lebih pintar daripada Allah?
Perbedaan Agama: Dalam memandang perbedaan agama,
Islam punya patokan sendiri. Dalam memandang hal
tersebut, Islam sangat tegas: kami laksanakan apa yang
kami yakini dan anda silakan melaksanakan apa yang anda
yakini, dan tidak saling mengganggu. Menghadapi
perbedaan, Islam punya solusi, yaitu berdebat, jika tidak
mau maka kita berjalan sesuai dengan keyakinan masing-
masing dan tidak saling mengganggu. Beberapa hari yang
lalu saya didatangi oleh tokoh Kristen Katholik yakni Frans
Seda, ia mengatakan apakah jika Syari’at Islam dilaksanakan
apakah kami akan dipaksa untuk mengikuti. Maka saya
jawab, tentu tidak, silakan anda jalankan syari’at agama
anda dan kami juga menjalankan syari’at agama kami
melalui lembaga negara, karena Syri’at Islam adalah
konstitusi atau undang-undang. Dan yang harus dipahami
oleh orang-orang Non Muslim bahwa kami menjalankan
Syari’at Islam di lembaga negara adalah karena keyakinan
bukan politik.
Kemudian untuk penanya ibu-ibu, cobalah anda baca surat
60 ayat 4: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik
bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
“Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari
daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja”.
Dengan demikian pada
persoalan keyakinan terdapat pagar pembatas, jangan paksa
kami menghormati kamu dan kami juga tidak akan
mengganggu kamu sampai kamu beriman kepada Allah.
Ayat ini termasuk ayat keras tetapi mengapa kita
diperintahkan untuk meneladani? Karena sesungguhnya
kendati keras akan tetapi kita tetap diperintahkan untuk
jangan mengganggu, Allah berfirman “Allah tidak melarang
kamu untuk berlaku adil kepada orang orang yang tidak
mengusir kamu”. Sehingga urusan dunia tetap rukun tetapi
urusan keyakinan adalah bagimu agamamu dan bagiku
agamaku.
Terakhir saya ingin menanggapi apa yang disampaikan oleh
Pak Yani yang mengatakan “Kalau kita melihat teknologi
tinggi, seakan-akan kita melihat Allah” Ungkapan itu adalah
ungkapan yang berbahaya karena Nabi Musa saja pernah
berkeinginan melihat Allah kemudian ia diperintahkan
melihat gunung, ketika gunung itu hancur, ia pun pingsan.
Sesungguhnya yang benar adalah “Setiap kita melihat
perkembangan ilmu pengetahuan yang menakjubkan maka
kita berfikir tentu Allah lebih hebat dari semua ini, semakin
tinggi ilmu maka kita semakin menyadari kebesaran Allah”.
Selanjutnya yang ingin saya tanggapi adalah ucapan bahwa
kita semua punya tuhan yang sama. Memang benar semua
mempunyai tuhan, tetapi ketika berbicara tauhid Rububiyah
yaitu tauhid kekuasaaan Allah, misalnya hanya Allah yang
menghidupkan dan mematikan, hanya Allah yang
menyelamatkan. Terhadap itu semua, siapapun percaya
karena semua manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah
yaitu fithrah ketuhanan. Iblis pun percaya kalau hanya bahwa
tuhan itu ada, itu terbukti dari do’a iblis “Wahai Allah
panjangkanlah usiaku sampai hari kiamat” karena iblis
mempunyai program untuk mencari teman sebanyak-
banyaknya sebagai teman di neraka. Begitu juga ketika
ditanyakan kepada masyarakat Jahiliyah sesungguhnya
siapakah yang mempunyai langit dan bumi, mereka pun
menjawab Allah. Jadi kalau hanya mempercayai tuhan itu
ada maka semua percaya. Akan tetapi ada lagi tauhid yang
harus diyakini yaitu kepercayaan keesaan hukum dalam
mengatur kehidupan manusia. Inilah yang diingkari oleh
orang-orang kafir. Sehingga mereka berani berkata “Ya
Allah, aku tahu engkau maha kuasa tapi jangan ikut campur
deh dalam mengatur hidupku.” Jadi, kalau kita mengakui
bahwa Allah yang maha Kuasa maka Syari’at-Nya harus
dipergunakan juga. Adapun jika ingin membuat hukum
sendiri harus terlebih dahulu minta izin kepada Allah.
Catatan kaki:
[1] Dosen UIN Sunan Kalijaga:
"Pertanyaan ini saya tujukan kepada Ust. Abu Bakar Ba’asyir.
Saya sepakat bahwa sebagai umat Islam kita wajib
menjalankan Syari’at Islam, akan tetapi saya tidak sepakat
dengan Ustadz yang menyatakan bahwa di UIN terdapat
orang kafir hanya karena berbeda penafsiran. Karena,
menurut saya kita harus menghormati pendapat orang lain,
jadi kita tidak bisa menyalahkan persepsi orang lain ketika ia
membaca sebuah ayat. Disamping itu, kita bisa melihat
bahwa dalam Islam ada empat mazhab, masing-masing
memiliki pendapat tersendiri, walaupun perbedaan itu dalam
hal ibadah namun tidak menutup kemungkinan bisa
berimbas pada hal-hal yang lain seperti pemikiran, politik,
muamalah, halaqah dan syaksyiah. Kemudian saya juga sepakat ketika Ustad menyatakan
bahwa hukum Islam adalah hukum yang paling modern
dengan indikasi pelaksanaannya cepat, biayanya murah dan
hasilnya memuaskan. Akan tetapi saya melihat tentang
potong tangan di Arab Saudi terdapat banyak sekali orang-
orang yang tidak punya dua tangan dan dua kaki. Ini artinya
ketika dipotong salah satu tangannya, seseorang ini tidak
langsung jera. Ia pun mencuri lagi, lantas dipotong lagi,
begitu selanjutnya hingga tangan dan kaki habis. Ini berarti
bahwa hukum potong tangan juga tidak menjerakan.
Selanjutnya tentang poligami, ada yang mengatakan hal itu
halal, ada juga yang mengatakan haram, ada lagi yang
mengatakan halal tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Dari
sini kita tidak bisa mengklaim bahwa pendapat saya yang
sesuai dengan syari’at Islam, dari sini saya juga sepakat
dengan Pak Yani sesungguhnya syari’ah mana yang hendak
dipakai di tengah banyaknya perbedaan pendapat dalam
masyarakat."
[Petikan dialog 25 November 2006 di Aula Balai Diklat
Depsos, Jogjakarta, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
mengadakan seminar bertema “Politik Hukum Islam di
Indonesia.” Hadir sebagai narasumber, mantan Menhan era
Gus Dur, Prof. Dr. Mahfud MD, Dr. A. Yani Anshari, dan Amir
Majelis Mujahidin, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir]
[Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 4 Th I Dzulhijjah 1427 H /
Januari 2007, hal. 55-64.]
[Diolah dari arrahmah]